Halaman yang membahas seputar hobi Radio komunikasi dan isu yang hangat di sekeliling Kita
Rabu, 25 Mei 2011
Mengenang mei 98
Kisah Vivian dan tentang Perkosaan
Internet menjadi sarana paling hebat untuk menyebarluaskan kisah perkosaan massal itu. Yang paling kontroversial adalah kisah yang konon dialami oleh seorang gadis
keturunan Cina bernama ‘Vivian. Kisah itu muncul kira-kira pada pertengahan Juni 1998. Konon Vivian tinggal bersama orang tuanya di lantai 7 sebuah apartemen di kawasan Kapuk, Jakarta Utara ketika diserbu orang-orang tak dikenal saat kerusuhan Mei. Mereka lalu memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangga-tetanggany a.
Kisah Vivian sangat deskriptif, detail dan menyentuh, sehingga mampu membangkitkan emosi. Majalah Jakarta-Jakarta sempat mengutip cerita perkosaan yang sangat vulgar itu mentah-mentah dalam sebuah edisinya. Dalam cerita itu, dengan sangat kurang ajar, ia menceritakan bahwa orang-orang yang bertampang seram itu memperkosa mereka
dengan berteriak “Allahu Akbar” sebelum melakukan perbuatan itu. Caci maki pun berhamburan kepada ummat Islam dan para Ulama.
Hampir bersamaan dengan munculnya kisah Vivian, muncul pula foto-foto yang konon berisi gambar para korban kerusuhan Mei di jaringan internet. Beberapa website memuat foto-foto yang luar biasa sadis dan mencekam. Siapapun pasti tersulut
amarahnya bila melihat foto-foto yang disebut-sebut sebagai foto kerusuhan Mei 1998 dan korban-korban perkosaan massal itu.
Pemajangan foto-foto di media internet itu telah mengundang emosi luar biasa bagi etnis Cina di seluruh dunia. Mereka menganggap kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah operasi yang sengaja ditujukan untuk mengenyahkan orang Cina, dan menyetarakan kasus perkosaan massal atas perempuan-perempuan itu dengan kasuk The Rape of Nanking,
saat pendudukan Jepang ke Cina tahun 1937.
Upaya Menelisik Fakta
Para wartawan yang kredibel mengakui bahwa pada saat peristiwa Mei 1998, peristiwa perkosaan memang terjadi. Seorang wartawan FORUM mendapat pengakuan dari seorang
anggota Satgas PDI Perjuangan bernama M, bahwa dia dan teman-temannyalah yang menyerbu dan membakar pertokoan di Pasar Minggu. Ia juga mengaku melecehkan perempuan, bahkan beberapa kawannya memperkosa mereka. Tapi menurut dia,
korban tidak hanya dari kalangan Cina. “Siapa aja, ada Amoy, ada Melayu, ada Arab,” kata anggota Satgas PDIP itu.
Para wartawan pun terus mencoba mengejar dan mewawancarai korban dengan semua petunjuk tentang para korban, tapi hasilnya nihil. Konon semua sudah pergi ke luar negeri dan tidak terlacak lagi. Hanya anak ekonom Christianto Wibisono yang terkonfirmasi sebagai korban perkosaan Mei 1998.
Majalah Tempo, dalam edisi pertama setelah terbit lagi juga tak mampu menemukan korban, apalagi sampai berjumlah ratusan.
Beberapa wartawan yang melacak lokasi yang di duga menjadi tempat tinggal Vivian dan keluarganya, juga tak menemukan apa-apa. Warga di sekitar apartemen menjawab tidak ada dan tidak pernah terdengar adanya Amoy yang diperkosa saat kerusuhan Mei 1998. Seorang anak nelayan yang pada dua hari jahanam itu menjarah apartemen tempat Vivian tinggal mengaku, jangankan memperkosa, ketemu penghuni juga tidak. Sebab, mereka sudah kabur ke luar negeri.
Soal jumlah korban perkosaan pun menjadi ajang perdebatan seru. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan Mei 1998 pecah gara-gara bab yang membahas hal ini. Sebagian anggota ingin memasukkan semua laporan tentang adanya perkosaan, sementara yang lain meminta semua di klarifikasi dulu. “Terkesan ada yang ingin memanfaatkan isu ini untuk kepentingan tertentu.” kata anggota TGPF Roosita Noer.
Tengoklah data yang mereka kumpulkan. Dari 187 nama menurut daftar yang dibawa anggota TGPF Saparinah Sadli dan 168 dalam daftar Pastor Jesuit Sandyawan Sumardi, ternyata hanya 4 orang yang berhasil diklarifikasi, yang lain baru qaala wa qiila, alias kata orang. Sementara, 2 (dua) orang korban yang di datangkan anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana ternyata orang gila beneran yang di duga sudah lama. Lucunya, ketika data ini diminta, Ketua TGPF Marzuki Darusman tidak mau membagi data itu kepada anggota yang lain.
Dari sisi ilmu statistik, data soal perkosaan massal pun aneh. Misalnya laporan tentang adanya perkosaan jauh lebih besar dari pada laporan tentang pelecehan seksual, di raba-raba dan sebagainya. Padahal, seharusnya menurut statistik, berdasarkan kurva sebaran, pola acak akan selalu membentuk kurva seimbang. Jumlah laporan orang yang diraba-raba saja seharusnya lebih banyak dari pada yang dilaporkan mengalami pelecehan, apalagi yang sampai diperkosa, dengan tingkatan paling berat.
Kebenaran kisah Vivian sempat juga dipertanyakan kalangan keturunan Cina sendiri. Mungkinkah si terperkosa, dalam waktu singkat menceritakan hal ini, sehingga cerita ini muncul di internet pada 13 Juni 1998— dan bisa mengendalikan emosi, sehingga bisa menuliskan kisah kesadisan yang dialaminya secara detail? Bukankah hal ini
bertentangan dengan anggapan bahwa etnis Tionghoa teramat sangat tertutup dalam hal perkosaan.
sumber : http://noertika.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar